AESI merekomendasikan agar Kementerian ESDM melakukan pemantauan dan membuat mekanisme pengaduan pelanggan PLTS atap, sebab berdasarkan pengalaman dari anggota AESI ditemukan adanya inkonsistensi pelaksanaan Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 oleh PLN.
Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai sejumlah ketentuan dalam draf revisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) belum cukup menarik.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa memandang bahwa investasi masyarakat untuk memasang PLTS atap akan memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) dan membantu menurunkan emisi gas rumah kaca. Oleh karena itu, sewajarnya regulasi mengenai pemanfaatan PLTS atap harus dapat memberikan nilai tambah yang lebih menarik bagi masyarakat.
AESI pun berharap agar nilai transaksi ekspor energi listrik dari pelanggan PLTS atap ke PLN bisa diperhitungkan sebesar 100 persen atau 1:1 untuk lebih menarik minat pelanggan memasang PLTS atap. Usulan ini juga mempertimbangkan bahwa energi dari PLTS atap memberikan efek yang sangat kecil terhadap dampak penjualan listrik PLN.
“Kami minta tarif ekspor-impor PLTS atap itu 1:1 karena kami nilai itu cukup wajar. Hitungan kami dengan perhitungan 1:1 bisa mempercepat pengembalian investasi di bawah 8 tahun. Kalau tarif yang sekarang 1:0,65, pengembalian investasi bisa 11-12 tahun. Pengembalian investasi di bawah 8 tahun akan meningkatkan appetite orang pasang PLTS karena ini dianggap investasi yang menarik,” kata Fabby kepada Bisnis, Minggu (18/4/2021).
Dia juga berharap tidak ada pembedaan tarif ekspor listrik dari PLTS atap dengan atau tanpa baterai. Menurutnya, penggunaan baterai dalam PLTS atap akan semakin menambah beban investasi masyarakat karena masih mahalnya harga baterai.
Selain itu, AESI juga merekomendasikan agar pemberlakuan perhitungan selisih ekspor-impor dilakukan selama 12 bulan, sehingga tidak ada penghapusan atau reset deposit sisa saldo kWh PLTS atap.
Hal ini mengingat pada musim penghujan produksi listrik dari PLTS atap rendah dan pada musim kemarau, produksi listrik dari PLTS lebih tinggi. Offset selama 12 bulan akan membantu meningkatkan keekonomian PLTS atap bagi pengguna sehingga meningkatkan minat untuk memasang.
“Kalau direset 6 bulan, energi yang dihasilkan saat kemarau itu tidak bisa kita dapatkan. Pada saat produksi listrik PLTS turun, tabungan energi di musim kemarau itu bisa dipakai. Toh, kalau diakumulasikan kita enggak ambil duit PLN,” kata Fabby.
AESI juga merekomendasikan agar Kementerian ESDM melakukan pemantauan dan membuat mekanisme pengaduan pelanggan PLTS atap, sebab berdasarkan pengalaman dari anggota AESI ditemukan adanya inkonsistensi pelaksanaan Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 oleh PLN.
Inkonsistensi tersebut antara lain terkait proses perizinan dan persetujuan pemasangan PLTS atap, ketersediaan dan harga meter kWh exim, dan adanya ketentuan-ketentuan tambahan yang diberikan oleh PLN di wilayah kepada pelanggan PLTS atap.
Adapun, draf revisi Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 sudah hampir selesai.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya menuturkan bahwa dalam draf revisi tersebut perhitungan transaksi ekspor-impor listrik PLTS atap akan dibagi menjadi dua, yakni apabila PLTS atap dilengkapi dengan baterai, nilai tukar ekspor bisa mencapai 90 persen dan jika tanpa baterai, nilai tukar ekspor dihargai sebesar 75 persen.
Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65 persen.
Selanjutnya, ketentuan lain yang direvisi adalah terkait reset deposit sisa saldo kWh PLTS atap. Ketentuan yang berlaku bila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor, selisih lebih diakumulasikan paling lama 3 bulan akan diperpanjang menjadi 6 bulan.
Sumber: https://ekonomi.bisnis.com